Pengobatan tuberkulosis terkendala oleh seringnya pasien tidak melanjutkan pengobatan hingga tuntas karena jenuh ataupun karena merasa lebih baik setelah minum obat di dua bulan pertama. Penyebab lain bisa muncul dari masalah ekonomi hingga hambatan tran sportasi untuk berobat ke puskesmas.
Selain itu, terkait dengan stigma pelayanan di puskesmas, banyak pasien memilih untuk berobat di klinik swasta atau rumah sakit yang justru belum semuanya menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment) dalam penanganan TB.
"Pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai dengan standar DOTS dapatberakibat pada munculnya kasus kekebalan multi terhadap obat anti TB," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan,
Tjandra Yoga Aditama, Senin (23/3), dalam Parade Penelitian TB se-Indonesia, di Hotel Aston Marina, Jakarta.
Tjandra Yoga Aditama, Senin (23/3), dalam Parade Penelitian TB se-Indonesia, di Hotel Aston Marina, Jakarta.
Menurut Tjandra Yoga, penanggulangan TB menjadi salah satu indikator keberhasilan sasaran pembangunan milenium, di mana pada akhir tahun 2015 Indonesia harus dapat menurunkan beban penyakit sedikitnya separuh dari kondisi tahun 1990-an. Hasil prevalensi survei menunjukkan, Indonesia sudah ada jalur untuk dapat mencapai target itu. Secara nasional telah terjadi penurunan prevalensi penyakit TB sebesar 42 persen dibandingkan tahun 1990-an.
Tantangan yang masih dihadapi adalah, masih banyaknya penderita yang tidak menyelesaikan pengobatan sampai tuntas (6-8 bulan), terutama bila penderita dilayani unit pelayanan non DOTS, kata dia. Selain itu, upaya akselerasi ini harus didukung dengan adanya dana operasional yang memadai dan jadi tanggung jawab kabupaten atau kota, di mana sampai saat ini dana bersumber bantuan hibah jadi pendukung utama kegiatan operasional di kabupaten/kota dan provinsi.
Penanggulangan TB di Indonesia mulai dilakukan secara nasional sejak tahun 1969 dengan dibentuknya unit TB di Departemen Kesehatan. Sebelumnya, sejak sebelum Perang Dunia Pertama, upaya pemberantasan dilaksanakan sendiri-sendiri di klinik atau balai pengobatan penyakit paru-paru dan sanatorium yang umumnya dikelola yayasan sosial. Utuk menunjang keberhasilan pemberantasan sampai pada dekade 80-an oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa organisasi ternasional lainnya dengan mengembangkan strategi DOTS.
Srategi ini berorientasi pada upaya penyembuhan, pengobatan, mulai diadopsi Indonesia sejak tahun 1995 lalu. Strategi DOTS terdiri dari komitmen politis, diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis hapusan dahak, pengobatan dengan panduan obat anti tuberkulosis atau OAT jangka pendek, ketersediaan obat anti tuberkulosis, pencatatan dan pelaporan sesuai standar. Sejak tahun 1999, pengobatan TB dengan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh puskesmas dan sekitar 30 persen di rumah sakit.
Saat ini strategi DOTS mulai dikembangkan ke unit pelayanan kesehatan lain termasuk keterlibatan klinik-klinik milik lembaga swadaya masyarakat seperti RS Muhammadiyah, RS milik NU dan LSM lainnya. "Sejak stategi DOTS menjadi strategi nasional penanggulangan TB di Indonesia, Depkes telah berkomitmen penuh dengan menyediakan obat anti tuberkulosis secara gratis bagi penderita TB yang dilayani di unit pelayanan DOTS," ujarnya.
Peningkatan penemuan penderita TB terlihat dari makin meningkatnya jumlah penderita yang ditemukan dan disembuhkan dari tahun ke tahun. Ini terlihat dari jumlah penemuan pada tahun sebelum 2004 jumlah penderita TB yang ditemukan hanya 155.000 orang sedangkan saat ini jumlah penderita yang berhasil ditemukan dan diobati mencapai 275.000 orang. "Hal ini berkat berbagai upaya peningkatan akses kepada pelayanan kesehatan termasuk meningkatkan peran serta masyarakat melalui kegiatan kesehatan berbasis masyarakat," kata Tjandra Yoga.
Sumber : www.klikdokter.com
Info ini dikutif dari : http://rscm.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda ?